Tahun 2020 diawali kegemparan akibat pandemi dengan tingkat penularan tinggi, COVID-19, yang menginfeksi hampir seluruh negara di dunia. Berbagai aksi pencegahan diterapkan oleh individu, institusi, komunitas, pemerintah nasional, dan badan-badan internasional demi memperlambat atau menghentikan penyebaran COVID-19. Hal ini membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerumunan harus dihindari sehingga aktivitas terpaksa dilakukan sepenuhnya dari rumah. Alih peran rumah sebagai sentral dari beragam aktivitas memunculkan dampak sosial yang sangat signifikan. Kaum perempuan menerima dampak ini secara tidak proporsional sebagaimana krisis selalu memperburuk ketimpangan gender terutama di negara-negara patriarkis yang masih membeda-bedakan peran domestik berdasarkan jenis kelamin.
Bressler (dalam Susanto, 2015: 122) menyatakan bahwa patriarki merupakan struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok berkuasa sekaligus pusat dalam organisasi sosial. Sistem ini secara implisit melembagakan pemerintahan dan pemenuhan hak istimewa lelaki serta tuntutan bagi perempuan untuk tidak menyetarai laki-laki. Budaya patriarki masih mengakar di tengah masyarakat dan dapat ditemukan dalam berbagai ruang lingkup; ekonomi, politik, sosial budaya, sampai hukum. Cerminan hal ini banyak ditemui sehari-hari, misalnya standar tertentu mengenai perbedaan cara laki-laki dan perempuan dalam bersikap serta pelabelan jenis benda kepemilikan, hobi, maupun pekerjaan. Konstruksi sosial tersebut menimbulkan ketimpangan yang cukup berjarak. Perempuan seringkali dituntut untuk bertabiat lembut dan penyayang serta mengutamakan kepengurusan rumah tangga di atas keinginannya untuk melakukan aktualisasi diri sementara laki-laki mengambil peran strategis di tengah masyarakat sekaligus pencari nafkah utama sehingga apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebatas sambilan dan cenderung kurang diapresiasi.
Stigma yang terwujud dari diferensiasi gender berdasarkan konstruksi sosial dan kultural ini membuat perempuan menjadi tetap berada di posisi yang terimpresi dengan beban ganda yaitu melakukan semua urusan domestik terkait tugasnya sebagai istri yang harus melayani dan menghormati suami, ibu yang harus mengasuh anak-anak, sekaligus berkiprah di ruang publik untuk bekerja demi memperoleh imbalan materi. Situasi ini akan lebih kontras terlihat di saat-saat seperti sekarang. Ketika kegiatan belajar dilakukan dari rumah, maka anak akan memerlukan pendampingan dari orang tua selama proses belajarnya.
Dilansir BBC News, seorang narasumber menyatakan bahwa langkah pemberlakuan belajar dari rumah untuk anak membuat wanita karier merasa tertekan karena perusahaan tetap mempekerjakannya dengan ancaman pemotongan gaji jika pekerjaan kurang maksimal, sementara para suami tidak mendapat cuti sehingga tidak bisa ikut mendampingi dan mengurus anak di rumah. Ibu rumah tangga turut merasakan beban ganda akibat bias gender ini karena tuntutan untuk menyelesaikan pekerjaan domestik sekaligus secara penuh mengawasi dan mengasuh anak tanpa peran serta suami.
Ketimpangan pemberlakuan kebijakan yang bias gender tentu sangat tidak etis karena sejatinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan cukup dipandang dari aspek jenis kelamin dan berbagai ketentuan biologis yang tidak dapat diubah, alih-alih konstruksi sosial yang menimbulkan beragam stereotip. Kesetaraan laki laki dan perempuan sebagai manusia harus lebih diperhatikan demi kehidupan sosial yang adil dan berkualitas.
Comments